Memori dalam Laci

Barang dalam laci masuk dalam kategori dibuangsayangdisimpanmerepotkan. Tertumpuk begitu saja bahkan aku pun lupa pernah memasukannya. Membongkar laci bikin senyum-senyum sekaligus mangkel kenapa juga aku musti jadi separuh melankolis sampai menimbun coretan sobekan dan potongan remeh temeh.

Ya, sangat remeh. Barang-barang itu berjejalan dalam sudut gelap. Sobekan karcis bioskop terselip di antara tumpukan slip gaji. Sejumlah kartu lipat tertindih buku catatan kumal. Di sudut lainnya, kertas pembatas buku berserakan bersama nota bon belanja bulanan. Dua SK magang dan penempatan di Bandung juga masih ada. Berikut kuitansi pertama saat aku bayar kamar di rumah kos nomor 8 juga masih tersimpan rapi di laci. Kwitansi bernomor 1 itu tertanggal 20 Februari 2006. Wah, ternyata aku bersarang di kamar itu sudah 59 bulan! Kwitansi pembayaran terbaru tertanggal 20 Desember 2010 sudah bernomor 59.

Belum lagi potongan cerita gombal gambul. Menemukan remah-remah dari masa lalu yang jauh bikin hati berdesir, nggrentesi. Hahay, it’s just like yesterday, lebam masih membiru.

Aargh … kenapa juga jadi orang kok separuh melankolik! Sukanya menimbun cerita dalam laci! Sekarang, cuma bisa nggerundel. Mengemasi barang-barang di laci sungguh memakan waktu. Seperti makan kue lapis yang mengulur setiap lapisan baru dikunyah selapis demi selapis. Di dalam laci, ada banyak potongan cerita yang tertimbun. Aku kembali mengeduknya mulai dari lapisan paling bawah: kisah paling usang yang dulu pernah enggan kubuang. Sekarang, semua sudah jadi sampah..

Memori dalam Laci

Dampak erupsi, katanya?!

Rasanya gemas betul. Awan panas Merapi sudah berlalu setidaknya sebulan, tapi PT Pos tak kunjung membuka layanan pos ekspress Bandung-Yogykarta. Huh. Sebal! Benar-benar nggak mendukung kampanye Yogya Aman!

Padahal, mumpung masih di Bandung, aku ingin mengirim penganan khas ke orang-orang tersayang. Maklum, belum sempat pulang. Pos Ekspress itu semula kupikir bisa jadi andalan karena aku ingin mengirim kuweh panggang zadul yang daya tahannya paling cuma tiga hari.

Ya, aku sudah niat membungkuskan beberapa macam kuweh (memang begini tulisan aselinya). Ada yang berbumbu spekuk dengan aroma rempah, ada yang isian sarikaya, selai cokelat, pisang, jagung, dan ada yang berbumbu spekuk dimodifikasi dengan potongan keju. Seluruhnya selusin. Semua itu bungkus saat masih hangat. Meski semuanya dipanggang, tapi tidak seluruhnya menjadi kering kecokelatan. Membuat tekstur kuwehnya lembut dan kenyal. Hmm.. Sedap.

Segera aku pulang dan menaruhnya dalam wadah makanan plastik. Tapi bungkus asli kuweh sengaja tidak kubuka. Kubiarkan, karena memang ini merupakan ciri khas kuweh zadul ini. Terbuat dari plastik tidak transparan dengan cap bergaya desain dan fohn nggak kalah zadul, memampang nama toko roti dan kuweh2 Sidodadi, Jalan Ottto Iskandardinata 255, Bandung. Di bawah tulisan itu, ada gambar perempuan berdandan ala nonie Belanda yang rambutnya kruwel-kruwel sedang menangkat nampan berisi roti tawar yang tebal. Di depan si nonie ada etalase lawas yang penuh memajang aneka kuweh. Tagline di bawahnya sungguh di luar dugaan nggak ada hubungannya dengan roti dan kuweh: Jadilah peserta KB lestari. Sesudah rapi kubungkus kertas coklat dan kububuhi alamat tujuan, dua paket itu pun kubawa ke kantor pos.

Tapi informasi si mbak pengawai pengiriman barang bikin aku sebal. Ya itu tadi, ternyata pos ekspres ke Yogyakarta masih ditutup untuk waktu yang belum ditentukan. “Dari pusat kebijakannya seperti itu,” kata si mbak yakin. Tapi buatku itu tidak meyakinkan. Aku langsung ngeluyur pergi ke kantor pos pusat di Jalan Asia Afrika. Ternyata, jawaban si mbak di kantor pos pusat sama. Ia bahkan menambah infromasi wagu gaya sok tahu bahwa situasi Yogya sampai saat ini belum memungkinkan pengiriman paket ekspress karena terkena dampak erupsi Merapi.

Owh! Aku nggak bisa nahan mangkel lebih lama lagi. Aku ngeyel dan bilang bahwa Yogya sudah aman dan bilang dengan sengit dan muka kecut, “ini rumah saya, di Sleman, cuma berjarak 10 km dari kota, nggak kenapa-kenapa!” Eh si mbak dengan makin judesnya bilang, “ya dari pusat begitu. Belum ada surat sampai kapan. Kalau mau, kirim paket saja yang biasa. Lima hari pasti sampai.”

Sebal. Dengan bersungut-sungut aku pun beringsut. Tanpa mengucapkan terima kasih, menyambar paketku. Batal kukirimkan. Akhirnya paket itu berakhir di tangan teman lawas yang datang ke Bandung akhir minggu ini. Ya sudahlah … Niat pamer khazanah kuliner zadul Bandung sudah kesampaian, meski salah sasaran.

Tunggu ya, paket kuweh itu akan kubungkus dan kusampaikan sendiri.

Dampak erupsi, katanya?!

Jakarta Sudah Dekat

Benar, Jakarta sudah semakin dekat. Sepertinya hidup jadi makin serius dan bergegas.

Baru 48 jam menyaru penduduk kota, bisa merasai bahwa kota ini selalu tergesa. Jakarta bergerak bersama orang-orang yang ditampungnya. Berat. Sendi kota lebih sering macet. Hujan deras 10 menit bisa membuat jalur-jalur lalu lintas kota mampet berjam-jam.

Di mana-mana ada saja orang berkerumun, menunggu atau mengejar entah. Sibuk. Padat. Selalu ada yang tersesat. Inilah kota persinggahan, banyak datang menebar mimpi dan ada juga yang memilih pergi. Memang sudah sesak, mau bagaimana lagi?

Jakarta sudah dekat. Aku akan datang. Aku punya mimpi tapi tidak akan kugantung di langit Jakarta. Aku lebih suka melipatnya dan kubawa ke mana pun aku pergi. Esok, mungkin kamu sempat melihatku duduk dengan wajah lelah di tepi jendela metromini. Tapi pasti kamu akan melihatku sedang menikmati teduh pohon-pohon menua di taman kota sana …

Baiklah Jakarta, aku akan datang … !

Jakarta Sudah Dekat

Di Kota S

Ini kota S. Kota pelesiran kuno di punggung gunung. Kalau malam minggu membuat Kota B jadi pasar malam, tidak di kota S. Malam minggu sama seperti malam jumat atau malam rabu atau malam senin. Sama sepi.

S memang untuk sepi. Satu-satunya keramaian sore ada d alun-alun. Anak-anak bermain odong-odong dan remaja menebar canda. Dan ada sedikit antrian di toserba yang sedang menggelar diskon. Toko dan warung berdiri berderet di sumbu jalan, masih dengan nama-nama lama sederhana: dahlia, sugih, laris, dan macan ketawa. Lagu lama juga membahana, diputar dengan gambar penyanyi menari di taman bunga. “Aku masih seperti yang dulu.”

Saat malam, obrolan warga beralih di gerobag ketoprak dan nasi goreng dengan cahaya petromak remang-remang. Satu dua mobil membelah jalan mengangkut para pelintas kota yang kemalaman. Selebihnya, sepi.. Tunggu masih ada suara .. Owh, ya itu tadi, sotil tukang nasi goreng yang beradu wajan memecah malam trek trek trek.

Ya, sepi sekali … Tapi kamu malah menari-nari di pikiranku!

Di Kota S