Oscar Ranupani

Kami menyebutnya Oscar, lelaki kemayu yang baru beberapa hari lalu meluruskan rambutnya di salon.

Malam itu, rambutnya yang dipotong di bawah telinga itu tampak hitam, lurus, tanpa cela. Rambutnya mengilat memantulkan api tungku yang tampak rakus menjilati kayu. Kami duduk di bangku sisi kiri tungku, sementara Oscar dan dua karibnya duduk di seberang kami. Ibu yang ramah memberi kami penganan dan minuman hangat. Dapur kayu milik keluarga Sobirin hangat melindungi kami dari terpaan angin dingin Ranupani.

Kami mengobrol riuh, seolah sudah lama akrab mengenal. Sembari bercerita ngalor ngidul, telapak tangan Oscar tidak henti-hentinya mengusapi rambutnya. Kakinya menyilang kenes sementara sesekali kerlingan matanya merayapi ujung rambut sampai ujung jempol seorang kawan yang duduk di sebelahku. Jelas, Oscar lebih tertarik pada Mamang di sampingku. Tapi aku lebih tertarik pada tiga karib Oscar yang tampak sama sekali tidak kenes dan kemayu. Satunya berjaket merah ala pendaki, satunya berjaket hitam dan terus mengepulkan asap rokok, dan seorang lagi Sobirin, yang sudah membantu kami mengangkuti barang selama perjalanan melintasi punggung Gunung Semeru. Empat karib ini sungguh akrab. Duduk bersebelahan, saling meledek, sembari saling melengkapi cerita. Akrab.

Kupikir ceritanya akan lain, kalau Oscar hidup tidak di Ranupani. Oscar sudah pasti akan di-bully oleh kawan-kawannya sendiri. Aku masih ingat kawanku Sonya di kampus yang disisihkan dari perkumpulan sosial. Geng cewek risih menerima Sonya karena dianggap tidak cukup feminin untuk memperbincangkan kerumitan perasaan tapi juga dinilai terlalu agresif menunjukkan pendiriannya.  Sementara itu, Sonya juga sering ditolak perkumpulan para cowok, karena dianggap terlalu lebay bersolek dan terlalu kenes bersikap. Sonya serba salah. Saat KKN tiba, problema Sonya makin rumit karena bersangkutan dengan urusan pembagian kamar tidur. Jelas, Sonya tidak punya banyak teman. Sonya tidak seberuntung Oscar yang terlihat baik dan akrab-akrab saja dengan kawan sepermainannya.

Tapi di Ranupani, selalu ada permakluman dan penerimaan. Bukan hanya untuk Oscar melainkan sepertinya untuk banyak hal, termasuk untuk urusan surgawi. Di dekat Ranu Regula ada Pura dengan pengeras suara yang jaraknya hanya beberapa meter dari sebuah langgar. Tak jauh dari situ, ada gereja kecil dengan tanda salib yang sangat besar di tembok depannya. Damai. Ya, mungkin semua cerita ini akan berjalan lain jika tidak di Ranupani. Di Ranupani, semua adalah Kita. tidak ada liyan, tidak ada mereka. Kebersamaan belum tersingkir.

Oscar Ranupani