Rasanya Seperti di Bandung

Apa yang membedakan Bandung dan Rotterdam? Rasa-rasanya kok nggak ada. Sebulan jadi urbaner Rotterdam, menandai sejumlah sudut kota. Kalau pun beda, itu pasti cuaca bulan november yang mulai tajam menusuki kulit.

Tapi sungguh terasa sama. Bersepeda melewati toko-toko kecil dengan etalase besar di Kralingen, sepintas seperti menyusuri jalanan Braga yang sempit dengan deretan toko-toko mungil berjendela lebar. Taman dengan jejeran pepohonan besar meneduhi kanal kecil di seputaran Heemraadssingeld itu mirip sekali dengan Taman Cilaki. Lengkap dengan bangku taman dan lampu taman yang bulat. Berjalan di kawasan komersial Beursplein, rasanya mirip seperti sedang berkeliaran di seputaran BIP.

Sengaja atau tidak, bentuk jembatan landskap kota pun mirip. Erasmusbrug punya tiang utama dan riang-tiang penyangga yang mirip dengan Pasupati. Bedanya hanya soal ukuran dan pemandangan di bawahnya. Pasupati melintasi Sungai Cikapundung pemandangan atap kemiskinan di tepian Cikapundung. Sementara Erasmusbrug tampak lebih jenjang dan megah melintang di atas Rhine Maas, sungai besar yang membelah Rotterdam menjadi utara dan selatan. Saking besar, lebar, dan bersihnyanya sungai ini, kapal pesiar Spido bisa menawarkan paket wisata sungai. Sungai ini mirip seperti jalan raya dengan lalu lalang kapal dan perahu berbagai ukuran. Nggak salah kalau Rotterdam pun mengusung slogan sebagai World Port World City. Meski nggak lagi cukup besar untuk menyaingi pelabuhan Shanghai.

Betul-betul kebetulan kalau dua kota ini juga sama-sama punya sejarah naas. Bandung pernah menjadi lautan api lantaran sejumlah gedung dan fasilitas kumpeni sengaja dibakar milisi tentara Indonesia tanggal 24 Maret 1946. Selang enam tahun sebelumnya, sejarah mencatatkan 14 Mei 1940 sebagai hari naas Rotterdam. Jurus perang kilat “blitzkrieg” Jerman membombardir pangkalan udara Waalhaven di selatan Rotterdam. Malang, bom Nazi membabat tanpa ampun meluluh lantakkan hampir seluruh Rotterdam.

Rotterdam sekarang adalah kota yang dibangun dari puing perang dunia kedua. Kota ini pun nggak terlalu terasa “Ducth”. Bangunan kuno cagar budaya yang tersisa bisa dihitung jari, seperti balai kota, gereja tua Laurenkerk, dan Witte Huis (1898) yang dulu pada masa jayanya sempat menjadi bangunan tertinggi di Belanda. Wajah kota sekarang dipenuhi bangunan modern karya eksperimental arsitek. Kantor pusat Unilever misalnya, mirip seperti balok kaca raksasa yang numpang di tonggak beton. Megah berdiri di tepian Nieuw Maas. Bangunan WTC Rotterdam di Beursplein juga nggak kalah modern bin megah menyerupai silinder kaca raksasa yang dipenggal seperempat. Saking megahnya, bangunan ini jadi ikon neoliberal sasaran demonstrasi “Occupy”, gerakan romantik yang merebak di Eropa memprotes sistem finansial dan politik kontemporer.

Satu lagi persamaannya, aku bisa melihat kunang-kunang dari jendela kamarku di Rotterdam. saat malam tiba, rasanya seperti melihat taburan lampu di bukit Dago Pakar. Ah tidak.. di Rotterdam tidak ada bukit!

Rasanya Seperti di Bandung

One thought on “Rasanya Seperti di Bandung

Leave a comment